Produk  

Hamidah

Judul : Hamidah
Penulis : Rida K Liamsi
ISBN : 978-602-1173-64-0
Tahun Terbit : 2021
Ukuran : 14 x 21 Cm
Jumlah Halaman : vi + 398 hal
Harga : Contact Seller
Diskon : –
Contact Seller : +62 853-7449-1714

P  E  N  G  A  N  T  A  R

17 Juli 2019, Saya baru saja selesai memberi sambutan pengantar tentang buku narasi sejarah  saya  Selak Bidai, Lepak Subang Tun Irang, yang pagi itu, diluncur dan didiskusikan di ruang multimedia Kantor Badan Arsip dan Perpustakaan  Daeran Propinsi Kepri, Tanjungpinang, yang biasa disebut Gedung Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi, ketika pada sesi tanya jawab, seorang perempuan yang duduk di pojok paling ujung di kursi paling belakang di ruangan yang berkapasitas 100 orang itu, berdiri dan mengangkat tangan,  dan langsung bicara: 

“Nama saya, Raja Suzana Fitri Hamzah“ Dia tersenyum, dan saya  tahu siapa dia.  “Saya cemburu dengan Mur, yang namanya dijadikan tokoh dalam buku itu. Saya ingin nama saya juga disebut dalam novel yang bapak tulis“ katanya sembari ketawa. “Tulislah lanjutan novel Bulang Cahaya itu, yang kata bapak masih ada buku keduanya“ lanjutnya lagi.

Saya  juga tertawa. Dia puteri sahabat saya  Raja Hamzah Yunus, yang sudah almrhum, seorang budayawan Melayu yang handal, dan menetap di Pulau Penyengat Inderasakti, pulau kecil dan bersejarah di seberang kota Tanjungpinang, di muara sungai Carang. Sungai yang juga sangat bersejarah.  Paling tidak selama hampir 100 tahun, kerajaan Melayu Riau, beribukota di hulu sungai itu, di tempat yang sekarang lebih dikenal sebagai Kota Rebah.

Almarhum Raja Hamzah bin Raja Muhammad Yunus itu seorang yang sangat peduli pada keberadaan khazanah warisan kerajaan Melayu Riau (1722-1912), khazanah yang berupa manuskript dan tinggalan sejarah lainnya. Dan untuk itu dia mendirikan sebuah Yayasan Budaya, yaitu Yayasan Inderasakti, dan mendirikan sebuah bangunan sederhana, yang diberi nama Balai Maklumat, yang  dijadikannnya perpustakaan tempat menyimpan semua khazanah yang sempat dia kumpulkan dari berbagai  pihak dan dari berbagai tempat, dan kemudian menjadi sumber rujukan yang penting bagi pihak pihak yang ingin mempelajari tentang eksistensi kerajaan Melayu Riau itu. Balai Maklumat,  merupakan perpustakaan dan arsip pribadi, dan kini dikelola anaknya, Raja Abdul Malik Hafizan.

Sudah cukup banyak para penuntut (mahasiswa-pen), termasuk penuntut asing yang memperoleh gelar kesar-janaan mereka  dengan menggunakan bahan bahan yang tersimpan di perpustakaan itu sebagai sumber penelitian dan studi, terlebih tentang jejak dan kiprah kepengarangan Raja Ali Haji (1809-1872), pujangga Melayu dan pahlawan  nasional Indonesia, bapak Bahasa Indonesia itu.

Raja Suzana ini juga keponakan dari Raja Hasan Junus (1941-2012), adik Raja Hamzah Yunus, yang juga sudah almarhum,  seorang budayawan, orang yang sangat saya hormati, dan selalu menjadi sumber inspirasi  saya dalam menulis novel-novel saya yang berlatar sejarah kerajaan Melayu, terutama sejarah kerajaan  Melayu Riau. Dia selalu menggugah dan “meracuni“ saya dengan berbagai gagasan menarik tentang perjalanan sejarah kerajaan Melayu Riau ini, tentang tokoh dan geliat kehidupan mereka sebagai penguasa, sebagai peneraju budaya yang jatuh bangun bersama kerajaan Melayu ini. Keluar masuk cengkraman Belanda, dan menyisakan sisi sisi romantika  hidup mereka. Sisi sisi menarik kerajaan ini, yang selama ini masih gelap dan jarang diceritakan.

Novel  Hamidah, ini  saya tulis untuk merespon dorongan  dan gesaan Raja Suzana yang sudah berkali kali dia sampaikan, agar saya melanjutkan novel Bulang Cahaya  yang saya tulis  12 tahun lalu. Dalam hasrat kepengarangan saya, saya ingin novel ini menjadi bahagian dari tetralogi saya. Novel ini sebenarnya, adalah buku ketiga dari seri tetralogi itu, karena sebelum ini saya sudah menulis novel Megat (2016), yang latar belakangnya adalah juga sejarah kerajaan Melayu. Hanya saja masanya agak lebih awal, karena saya mengais catatan-catatan dari belantara cerita di kerajaan Melayu Johor (1528-1722), melalui sosok Megat Seri Rama, Laksamana kerajaan Johor yang berasal dari  Bentan, pulau yang menjadi Bunda tanah Melayu dalam perjalanan sejarah rumpun bangsa Melayu ini.

Saya menyebut tetralogi saya ini, sebagai tetralogi sungsang, jika merujuk linimasa peristiwa yang melatar belakangi peristiwa sejarah. Bulang Cahaya saya pungut dari cerita-cerita sekitar tahun 1722 sampai 1812. Sementara Megat dari masa-masa lebih awal,  mulai tahun 1528 sampai 1699, meskipun melalui tokoh Megat Ismail dan Tengku Adinda, novel itu mempunyai setting waktu  cerita di tahun 2015, saat novel itu mulai ditulis, dan memilih kekinian sebagai cara untuk bercerita .

Novel Hamidah ini mengambil  setting cerita dari era 1784 sampai 1844, dan kembali ke cara penulisan novel-novel konvensional. Linear, dan menjadikan peristiwa bersejarah    sebagai bab bab ceritanya. Belum tahu apakah  novel yang ke empat, penutup tetralogi ini. Dan dengan gaya bercerita yang bagaimana. Meski kerangka ceritanya sudah saya siapkan, dan tokohnya pun sudah ada yaitu: Panglima Sulong, keturunan Illanun Tempasok, seorang panglima yang juga mewarnai perjalanan sejarah kerajaan Melayu Riau Lingga.

Novel Hamidah ini, memang kembali ke era kerajaan Riau, Lingga, Johor dan Pahang, ke era persemendaan dan persebatian Melayu Bugis dalam membangun kekuasaan mereka di kerajaan Melayu Riau, penerus kerajan Melayu Johor dan Melaka. Sebuah perbancuhan kultur yang menyisakan jejak budaya dan tradisi yang panjang. Baik sosial, politik, dan juga ekonomi. Dan jejak itu masih ada dan terasa saat ini dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat Melayu di kawasan semenanjung ini.

Tapi, novel Hamidah ini, meskipun berlatar belakang sejarah, tetaplah sebuah karya fiksi, bukan sebuah karya sejarah, karya non fiksi.  Novel ini, adalah sebuah karya yang ditulis dengan semangat kesusasteraaan, yang bersandar pada peristiwa sejarah sebagai latar belakang dan setting ceritanya. Tokoh dan peristiwanya, mungkin ada atau menyerupai tokoh tokoh dalam bentangan sejarah di kawasan ini, terutama sejarah kerajaan Melayu Riau, Lingga, Johor dan Pahang. Tapi geliat hidup, romantika dan tragedi yang terjadi, tetaplah harus dilihat dari perspektif  karya fiksi. Sebuah narasi dan penafsiran ulang peristiwa dan perjalanan sejarah untuk kepentingan karya sastera. Sebuah narrative history  dan bukan  sebuah historiografi.

Sejarah memang guru yang sangat bijak untuk tempat belajar. Belajar tentang makna dan eksistensi kehidupan. Tentang masa lalu yang menjadi pondasi masa kini, untuk membangun masa depan. Dan karya sastera adalah medium,  yang menyajikan alur waktu dan sungai cerita, tempat peristiwa sejarah itu berlayar dan sampai ke mana-mana. Suara suara bening, gerah,  parau, dan juga pahit, yang disampaikan, hasil dari penafsiran dan perenungan atas peristiwa sejarah itu.

Peran sastera sebagai media untuk memahami ihwal perjalanan sejarah itu,  memang sudah sejak lama ada. Sejak zaman sastera lama, melalui  hikayat, syair, roman sejarah, dan genre sastera  lainnya. Dan sekarang ini, dengan berbagai kemajuan keilmuan, terlebih tehnologi komunikasi dan informasi, maka karya karya klasik yang berlatar sejarah, akhirnya dapat juga dijadikan sebagai sumber sejarah, meskipun bukan sumber primer.

Novel itu memang merupakan pengembangan dari puisi panjang saya, Dan Sejarah pun Berdarah, yang saya tulis tahun 2006, yang termuat dalam antologi puisi saya, Perjalanan Kelekatu (2008), puisi yang saya tulis berangkat dari sisa sisa imajinasi saya setelah menulis novel  Bulang Cahaya.

Ok, Suzana, saya dedikasikan buku ini sebagai rasa hormat dan terimakasih atas dorongan  kalian sekeluarga agar saya  menulisnya, dan  juga terlebih  terima kasih pada keluarga kalian, terutama paman kalian Hasan Junus, dari siapa gelegak dan bara semangat dan aroma cerita ini saya pungut dan petik, ketika almarhum masih hidup, dalam berbagai kesempatan diskusi kami yang hangat di Pekan-baru, di kantor tua majalah Sagang, dalam komplek perkantoran harian Riau Pos.

Saya  juga sudah membaca secara cermat karyanya, Engku Puteri Raja Hamidah, dan sebagian semangat buku itu saya jadikan lautan cerita di novel ini. Juga dari berbagai essai lepasnya tentang sejarah kerajaan Melayu di semenanjung ini. Saya suka sekali, dengan pembukaan buku itu, Engku Puteri Raja Hamidah, yang diterbitkan UNRI Press, tahun 2002:

“ Dengan siapakah Engku Puteri Raja Hamidah binti Raja Haji Fisabilillah hendak dibandingkan? Dengan Ratu Victoria dari Inggeris? Atau Ratu Manchu di Negeri Cina? Atau Mumtaz Mahal, yang dibuatkan  oleh suaminya Mausseleum  Taj mahal di India? ………Engku Puteri Raja Hamidah binti Raja Haji Fisabilillah akan saya bandingkan dengan dirinya sendiri…… pantulan sosok perempuan yang ranggi dan piawai di depan sebuah cermin yang bernama sejarah “ 

Engku Puteri Raja Hamidah, perempuan ranggi berhati baja, perempuan yang melawan semua kesewenangan dengan kata kata, seribu kata, sejuta kata, selalu menjadi sumber inspirasi untuk perempuan masa kini. Berani berdepan dengan nasib, dan tidak menyerah karena takdir. Meski tak pernah lupa berzikir. Semoga novel ini juga  berguna dan memberi inspirasi. Kata orang orang bijak, sebaik baiknya sebuah karya, adalah karya yang bila orang selesai membacanya, memberi inspirasi pada yang mem-bacanya untuk menciptakan karya yang baru pula.

***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *