Produk  

Sungai Carang dan Jejak Sejarahnya

PENGANTAR TIM PENULIS

Sebagai salah satu pulau terbesar di gugusan pulau pulau di Kepulauan Riau, pulau Bintan diketahui mempunyai banyak sungai dan anak anak sungai, yang hampir semua berhulu di gunung Bintan. Salah satu dari sungai itu adalah sungai Carang. Sungai yang panjangnya sekitar 25 ini, mengalir tenang dari hulunya di Gunung Bintan, menuju muaranya di Teluk Bintan, dan airnya mengalir sampai ke Selat Riau, ke Selat Melaka, dan Laut Cina Selatan (Laut Natuna Utara-pen)
Dalam catatan sejarah nasional Indonesia, sungai ini hampir tidak pernah di sebut-sebut, kalah populer dengan sungai-sungai besar yang ada di timur pulau Sumatera, seperti sungai Siak, Rokan, Inderagiri, Batang Hari dan Musi. Tetapi secara historis, terutama dalam bentangan sejarah kemaharahaan Melayu yang jatuh bangun selama hampir 8 abad (1160-1912), sungai Carang merupakan salah satu sungai yang sangat bersejarah. Di hulu sungai itu, dulu di pertengahan abad 17, ada sebuah tempat, yang menjadi pusat pemerintahan, baik sebagai pusat pemerintahan sementara kerajaan Johor (1673 -1685), maupun sebagai ibukota dari kerajaan Riau (1722-1787). Tempat itu dikenal nama Ulu Riau atau Riau Lama (Oud Riow), atau dalam catatan sejarah tempatan, disebut Pangkalan Rama. Tempat ini diabadikan dalam pantun Melayu lama:
Tanjung pinang parit pemutus
Di situ tempat Pangkalan Rama
Kasih sayang janganlah putus
Kalau bisa biarlah lama
Sungai Carang juga urat nadi perdagangan yang sangat penting, dan salah satu pusat perdagangan yang ramai di Selat Melaka. Bayangkan ada sekitar 500 sampai 600 kapal dagang, besar kecil, yang hilir mudik sepanjang tahun di sana, yang datang dari berbagai penjuru dunia, dengan berbagai barang dagangannya,sebagaimana bunyi surat Gubernur Belanda di Melaka,Thomas Slicher, tahun 1787, kepada Gubernur Jenderal Belanda di Batavia.
Berbagai catatan sejarah telah menunjukkan peran penting sungai ini, dan bahkan dalam peta perdagangan rempah rempah Nusantara, sungai Carang menjadai salah satu melting point jalur rempah nusantara. Tempat pertukaran barang, terutmama rempah rempah, antara berbagai perdagang dunia, terutama Cina, Belanda, Inggeris, Prancis, Portugis, dan lainnya,selain dari kawasan nusantara dan tanah semenanjung. Raja Ali Haji, dalam buku kronik sejarahnya yang terkenal, Tuhfat Al Nafis, menggambarkan susana ramai nya kapal-kapal dagang yang berlabuh di muara sungai ini, seperti ikan dicucuk ingsangnya. Berderet-deret, dan bersusun-susun.
Sebelum tahun 1956, sungai yang mengalir sepanjang bibir kota Tanjungpinang ini, memang belum bernama Sungai Carang. Orang lebih mengenalnya sebagai Sungai Riau, karena di hulunya, ada tempat bernama Hulu Riau (Ulu Riau menurut bahasa setempat), sebuah kota yang dibangun oleh Laksamana Johor, Tun Abdul Jamil. Tempat ini dibangun Laksamana Tun Abdul Jamil, yang juga bergelar Paduka Raja, sekitar tahun 1672, atas perintah Sultan Johor, Abdul Jalil Syah III (1626-1679), untuk menjadi ibukota sementara kerajaan Johor, menggantikan kota Makam Tauhid, yang dihancurkan oleh Jambi, dalam perang Johor-Jambi, tahun 1669-1672.
Karena suasana pembangunan kota baru yang dibangun di hulu sungai itu, begitu riuh rendah, maka sebagai penanda dan penunjuk arah, komunikasi antar penduduk, sungai disebut sungai yang Riuh, yang kemudian secara perlahan berubah menjadi Riau. Meskipun ada juga sumber lain yang mengatakan bahwa nama Riau itu berasal dari bahasa Portugis, Rhio atau sungai. Atau dari bahasa Cina, Liau Lai. Sementara kota yang dibangun itu di sebut Pangkalan Rama, yang kemudian dikenal juga dengan Ulu Riau, atau Riau Lama. Dan sekarang tempat disebut Kota Rebah, karena tembok betonnya yang dahulu adalah benteng (kota) telah rubuh atau rebah.
Nama sungai Carang sendiri ketika itu memang sudah ada, tetapi hanya untuk nama sebuah anak sungai. Bersama-sama dengan puluhan anak sungai lainnya yang ada di kiri dan kanan sungai induk itu, seperti Sungai Timun, Sungai Pancur, Sungai Payung, Sungai Gerobos, Sungai Pulai, Sungai Galang Besar, Galang Kecil, Galang Baharu, dan lainnya. Nama Carang itu, menurut cerita rakyat setempat berasal dari nama sejenis tanaman bersulur panjang, tumbuh merambat, sebagaimana tanaman melata lainnya, seperti mentimun, semangka, dan jenis tamanan sebangsanya, yang memang banyak tumbuh di sepanjang tebing sungai itu. Sementara dalam bahasa Inggeris, Carang (Tjarrang) ini berarti menyebar (spray), menjalar ke mana-mana. Dalam peta Belanda tahun 1826, anak sungai Carang (Tjarrang) itu letaknya berseberangan dengan Riau Lama.
Nama sungai Carang itu kemudian dipakai untuk menjadi pengganti nama sungai yang dahulunya itu sudah ada, sungai induk, yaitu sungai Riau. Pemberian nama baru ini, sebagai cara untuk menjaga agar tidak terjadi kesalah pahaman, tumpang tindih, karena nama Riau itu, sejak tahun 1956, sudah diambil menjadi nama propinsi yang baru, yaitu Provinsi Riau. Provinsi baru ini adalah pemekaran dari wilayah Keresiden Riau, yang nama dan wilayahnya sudah ada sejak tahun 1787, sejak zaman Belanda menjadikan daerah ini sebagai wilayah keresidenan yang beribukota di Tanjungpinang, Belanda menyebutnya sebagai Resident van Riouw dalam surat-surat administrasi pemerintahan mereka, dan wilayahnya mencakup
Inderagiri, Siak, Kampar, Bengkalis, dan sampai ke Asahan.
Tahun 1958. Ibukota Propinsi Riau yang semula di Tanjungpi-nang, dipindahkan ke Pekanbaru di Riau Daratan. Sehingga, jika sungai itu tetap disebut Sungai Riau, maka terkesan sungai itu ada di Riau daratan, bukan di Kepulauan Riau. Bukan di pulau Bintan. Meskipun nama Riau itu, dulu di zaman Jepang, sudah dipakai, dan wilayahnya juga di Riau Daratan.
Tidak ada catatan yang menunjukkan bila perubahan itu terjadi, tetapi diperkirakan sejak kepindahan ibukota propinsi Riau itu, ke Pekanbaru, Riau Daratan, maka sungai ini disebut sungai Carang, mengambil nama anak sungai terbesar dan terpanjang di betangan sungai Riau itu. Memang sulit untuk mempopulerkan nama sungai Carang sebagai pengganti sungai Riau, Termasuk dalam kehidupan masyarakat yang bermukim sepanjang pinggir sungai itu. Karena itulah, misalnya, Gubernur Propinsi Kepulauan Riau, Muhammad Sani (sekarang sudah almarhum), satu ketika menyarankan agar diadakan iven-iven budaya dan wisata, yang dapat mempopuler nama itu. Karena itu, antara lain, tahun 2013, diselenggarakan Festival budaya Sungai Carang (FSC) , dan festival budaya itu sempat dihelat dengan meriah sekitar 3 tahun. Ide festival budaya Sungai Carang ini,mengambil model Festival Budaya Sungai Melaka,setelah Gubernur M Sani, Walikota Tanjungpinang ketika itu Suryatati A Manan dan budayawan Rida K Liamsi, bertemu di Melaka dalam rangka menghadiri pertemuan Dunia Melayu, Dunia Islam (DMDI).
Meskipun sosialisasi perubahan nama Sungai Riau menjadi sungai Carang berjalan lambat, tetapi jejak sejarah yang ada di sepanjang sungai itu, tetaplah harus terus diingat. Sebab bagaimanapun di sepanjang sungai itu, telah terjadi berbagai peristiwa sejarah yang penting dan berpengaruh bagi perjalanan masa depan kawasan ini, terutama Kepulauan Riau. Setidaknya, sejak Laksamana Tun Abdul Jamil membangun bandar baru di Pangkalanan Rama, tahun 1673 dan sampai keputusn Sultan Riau Mahmud Riayat Syah meninggalkan Ulu Riau dan pindahke Lingga, tahun 1787, terdapat rentang waktu tak kurang dari 114 tahun, dan sepanjang masa itu terjadi berbagai peristiwa sejarah yang penting, yang perlu dicatat dan perlu diingat.
Misalnya, perang saudara antara Paduka Raja Laksamana Tun Abdul Jamil melawan Bendahara Riau memperebutkan pengaruh atas Sutan Johor ketikaitu, Mahmud Syah II (1685-1699), atau perang saudara antara Raja Kecik,Sultan Johor (1718-1722) melawan Tengku Sulaiman yang dibantu Upu Daeng Bugis Berlima, dalam memperebutkan tahta Johor. Atau konflik politik Melayu Bugis dalam memperebutkan supremasi politik di kerajaan Riau. Atau yang sangat terkenal yaitu perang Riau I melawan Belanda tahun 1782-1784, dan Perang Riau II, tahun 1787.
Kecuali itu, di sepanjang sungai Carang itu terdapat jejak dan peninggalan sejarah. Selain bekas istana dan lainnya, juga artifak sejarah lain, seperti makam Raja Bajau, Raja Pahang,Makam Sultan Ibrahm Syah, Sutan Johor, makam Sutan Sulaiman Badrul Alamsyah I, sultan atau Yang Dipertuan Besar (YDB) pertama, Makam Tun Abbas, Bendahara Paduka Raja Riau I, Makam Daeng Marewa, Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau I, Daeng Celak (YDM )II, Daeng Kamboja (YDM) Riau III, Makam Raja Ali Ibn Daeng Kamboja (YDM) RiauV, dan lainnnya. Juga kampung-kampung tua bersejarah, seperti Kota Rebah, Kota Piring, Kampung Melayu, Kampun Bulang, Tanjung Unggat, Kampung Bugis, dan lainnya.
Jajak dan tapak sejarah tersebut, jika pun belum dapat dilestarilakan, tetapi tetaplah harus ditulis dan dicacat, dan menjadi buku buku sejarah yang dapat dibaca, dan tentu saja diajarkan di sekolah sekolah. Itulah yang menjadi misi dan visi penulisan buku sejarah ini. Untuk memelihara ingatan generasi yang akan datang. Meluruskan informasi sejarah, dan menulis buku kesejarahan dari
sudut pandang Indonesia.
Atau seperti yang ditulis, Ramon Damora, seorang sastrawan, dalam esainya tentang sunagi Carang, yang dimuat dalam Derai Canang, Sungai Carang (Bunga Ramapi Esai -2016:”Sejarah selalu diam, seperti sebatang pokok. Sejarah bertakdir dengan akar literasi :as-syajarah, yang berarti pohon pohon. Pohon menyimpan semua rahasia dengan keheningannya, Sebab itu, di antara degub hidup, detak jehak, dan nafas–nafas yang terjejas, para pengembara menjadukan pohon (sejarah-pen), sebagai tanda (isyarat-pen). Sejarah adalah identitas. Warkah jati diri. Tanpamen oleh identitas, tanda kesilaman, hari depan takkan utuh. Petualamg sesat. Tak tahu jalan pulang…..”
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya, maka buku Sungai Carang dan Jejak Sejarahnya dapat diselesaikan. Ucapan terimakasih juga kepada semua pihak yang telah membantu dalam segala hal, sehingga buku ini dapat berjalan dengan lancar. Ada sejumlah kendala dalam penulisan tentang topik Sungai Carang ini, salahsatunya masalah sumber atau referensi. Tidak banyak sumber yang membahas tentang Sungai Carang. Belum ada yang menulis sejarah Sungai Carang secara utuh. Hal ini mungkin disebabkan karena kegemilangan Sungai Carang pada masa lampau tidak begitu membekas hingga kini. Hal ini bisa jadi penyebab Sungai Carang tidak banyak dibicarakan orang.
Akhirnya tim penulis buku ini menyadari bahwa masih banyak hal yang belum terangkum dalam buku ini. Belum semua jejak sejarahnya tercatat dan terlacak. Tak ada buku sejarah yang terbit sempurna. Dan sejarah selalu akan ditulis ulang sesuai dengan kehendak dan kepentingan zamannya, setidaknya demikianlah pendapat para sejarawan. Semoga Sungai Carang dan Jejak Sejarahnya ini bisa memberikan sumbangan dalam literatur kesejarahan Kepulauan Riau.

Tanjungpinang, November 2022

Ketua Tim Penulisan

Rida K Liamsi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *